21/04/13

Tafsir al-Quran : Pengantar Ilmu Tafsir

Oleh Ustadz Ridwan Hamidi, Lc. MA
Tafsir berasal dari kata al fusru yang mempunyai arti al-ibanah wa al-kasyf (menjelaskan dan menyingkap sesuatu). Makna ini sesuai dengan surat Al Furqan ayat 33, “wa laa ya’ tuunuka bimatsalin illa ji’ naaka bil haqqi wa ahsana tafsiirin.”
Menurut pengertian terminologi, seperti dinukil Al-Hafizh As-Suyuthi dari Al-Imam Az-Zarkasyi, tafsir ialah ilmu untuk memahami kitab Allah subhaanahu wa ta’ala yang diturunkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, menjelaskan makna-maknanya, menyimpulkan hikmah dan hukum-hukumnya.
Urgensi Tafsir Al Qur’an dalam Islam
Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam melalui malaikat Jibril dalam bahasa Arab dengan segala macam kekayaan bahasanya. Didalamnya terdapat penjelasan mengenai dasar-dasar aqidah, kaidah-kaidah syari’at, asas-asas perilaku, menuntun manusia ke jalan yang lurus dalam berpikir dan beramal. Namun, Allah subhaanahu wa ta’ala tidak memberi perincian-perincian dalam masalah-masalah itu sehingga banyak lafal Al-Qur’an yang membutuhkan tafsir, apalagi sering menggunakan susunan kalimat yang singkat namun luas pengertiannya. Dalam lafazh yang sedikit saja dapat terhimpun sekian banyak makna. Untuk itulah, diperlukan penjelasan berupa tafsir Al-Qur’an.
Sejarah Tafsir Al-Qur’an
Sejarah ini diawali pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika masih hidup. Seringkali timbul beberapa perbedaan pemahaman tentang makna sebuah ayat. Untuk itu, mereka dapat langsung menanyakannya pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Secara garis besar, ada tiga sumber utama yang dirujuk oleh para sahabat dalam menafsirkan Al-Qur’an, yaitu:
  1. Al-Qur’an itu sendiri, terkadang satu masalah yang dijelaskan secara global disatu tempat, dijelaskan secara lebih terperinci diayat lain.
  2. Disaat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam masih hidup, para sahabat dapat bertanya langsung kepada beliau shallallahu ‘alaihi wasallam tentang makna suatu ayat yang tidak mereka pahami, atau mereka berselisih paham tentangnya.
  3. Ijtihad dan pemahaman mereka sendiri, karena mereka adalah orang-orang Arab asli yang sangat memahami makna perkataan dan mengetahui aspek kebahasaannya. Tafsir yang berasal dari para sahabat, dinilai mempunyai nilai tersendiri menurut jumhur ulama karena disandarkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, terutama pada masalah azbabun nuzul. Sedangkan pada hal yang dapat dimasuki ra’yi, maka statusnya terhenti pada sahabat itu sendiri selama tidak disandarkan pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Para sahabat yang terkenal banyak menafsirkan Al Qur’an antara lain: Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Ubai bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Musa Al-Asy’ari, Abdullah bin Zubair. Pada masa ini belum terdapat satu pun pembukuan tafsir dan masih bercampur dengan hadits.
Setelah generasi sahabat, datanglah generasi tabi’in yang belajar Islam melalui para sahabat di wilayah masing masing. Ada tiga kota utama sebagai pusat pengajaran Al Qur’an yang masing-masing melahirkan madrasah atau madzhab tersendiri seperti Mekkah dengan madrasah Ibnu Abbas dengan murid-murid antara lain: Mujahid bin Jabir, Atha bin Abi Rabbah, Ikrimah, Thawus bin Kaisan Al Yamani, dan Said bin Jabir. Madinah, dengan madrasah Ubay bin Ka’ab, dengan murid-murid: Muhammad bin Ka’ab Al Qurazhi, Abu Al-Aliyah Ar riyahi dan Zaid bin Aslam, dan Irak dengan madrasah Ibnu Mas’ud, dengan murid-murid: Al-Hasan Al Bashri, Masruq bin Al-Ajda, Qatadah bin Di’amah As Saduusi, dan Murrah Al-Hamdani.
Pada masa ini, tafsir masih bagian dari hadits, namun masing-masing madrasah meriwayatkan dari guru-guru mereka sendiri. Ketika datang masa kodifikasi hadits, riwayat yang berisi tafsir sudah menjadi bab tersendiri, namun belum sistematis hingga masa dipisahkannya antara hadits dan tafsir menjadi kitab tersendiri. Usaha ini dilakukan oleh para ulama seperti Ibnu Majah, Ibnu Jarir Ath Thabari, Abu Bakr bin Al Munzir An Naisaburi dan lainnya. Metode pengumpulan inilah yang disebut tafsir bi Al-Matsur.
Perkembangan ilmu pengetahuan pada masa Dinasti Abbasiyah menuntut pengembangan metode tafsir dengan memasukkan unsur ijtihad yang lebih besar. Meskipun begitu, mereka tetap berpegang pada tafsir bi Al-Matsur, dan metode lama dengan pengembangan ijtihad berdasarkan perkembangan masa tersebut. Hal ini melahirkan tafsir bi Al-Ra’yi dimana ruang lingkup ijtihad lebih luas dibandingkan masa sebelumnya.
Bentuk Tafsir Al-Qur’an
Ada berbagai bentuk tafsir Al-Qur’an, namun bentuk yang paling penting untuk dikenal ada dua, yaitu:
Tafsir bi Al-Ma’tsur
Dinamai dengan nama ini (dari kata “atsar” yang berarti sunnah, hadits, jejak, peninggalan) karena dalam melakukan penafsiran, seorang mufasir menelusuri jejak atau peninggalan masa lalu dari generasi sebelumnya, hingga kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Tafsir bi Al-Ma’tsur adalah tafsir berdasar pada kutipan-kutipan yang shahih, yaitu menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an; Al Qur’an dengan sunnah, karena ia berfungsi sebagai penjelas Kitabullah; dengan perkataan sahabat, karena merekalah yang dianggap paling mengetahui Kitabullah; dengan perkataan tokoh-tokoh besar tabi’in, karena mereka pada umumnya menerimanya dari sahabat. Contoh tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an seperti “wa kuluu wasyrobuu hattaa yatabayyana lakumul khaithul abyadhu minal khathil aswadi minal fajri..” (QS. Al-Baqarah: 187).
Kata “minal fajri” adalah tafsir bagi apa yang dikehendaki dari kalimat “al khaitil abyadhi”.
Contoh tafsir Al-Qur’an dengan sunnah seperti “Alladzina amanuu lam yalbisu iimaanahum bizhulmin.” (QS. Al An’am: 82).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menafsirkannya dengan mengacu pada ayat, “innasy syirka lazhul mun ‘azhiim.” (QS. Luqman: 13).
Dengan itu, beliau menafsirkan makna “zhalim” dengan syirik. Tafsir bi Al-Ma’tsur yang terkenal antara lain: tafsir Ibnu Jarir, tafsir Abu Laits As Samarkandy, tafsir Ad Durul Mantsur fit Tafsir bil Ma’tsur (karya Jalaluddin As Suyuthi), tafsir Ibnu Katsir, tafsir Al Baghawy, dan tafsir Baqy bin Makhlad.
Tafsir bi Ar-Ra’yi
Perkembangan zaman menuntut pengembangan metode tafsir yang disebabkan tumbuhnya ilmu pengetahuan pada masa Daulah Abbasiyah, maka ilmu tafsir membutuhkan peran ijtihad yang lebih besar dibandingkan dengan tafsir bi Al-Matsur. Dengan bantuan ilmu bahasa Arab, ilmu qira’ah, ilmu Al-Qur’an, ilmu hadits, ushul fiqh, dan ilmu-ilmu lain, seorang mufassir akan menggunakan kemampuan ijtihadnya untuk menjelaskan dan mengembangkan maksud ayat dengan bantuan perkembangan ilmu-ilmu pengetahuan yang ada. Namun, tidak semua hasil tafsir yang mereka tulis bisa diterima karena merupakan hasil ijtihad yang berpeluang untuk benar dan salah.
Beberapa tafsir bi Ra’yi yang terkenal antara lain: tafsir Al Fakhrur Razy, tafsir Abu Suud, tafsir Al-Khazin.
Metodologi tafsir Al Qur’an
Metodologi tafsir dibagi menjadi empat macam, yaitu metode tahlili, ijmali, muqaron, dan maudlu’i.
Metode Tahlili (analitik)
Metode tahlili adalah metode tafsir Al-Qur’an yang berusaha menjelaskan Al-Qur’an dengan mengurai berbagai sisinya dan menjelaskan apa yang dimaksudkan oleh Al Qur’an. Metode ini merupakan metode yang paling tua dan sering digunakan.
Tafsir ini dilakukan secara berurutan ayat demi ayat, kemudian surat demi surat dari awal hingga akhir sesuai dengan susunan Al Qur’an. Dia menjelaskan kosa kata dan lafazh, menjelaskan arti yang dikehendaki, sasaran yang dituju dan kandungan ayat, yaitu unsur-unsur I’jaz, balaghah, dan keindahan susunan kalimat, menjelaskan apa yang dapat diambil dari ayat yaitu hukum fiqh, dalil syar’I, arti secara bahasa, norma-norma akhlak, dan lain sebagainya.
Metode Ijmali (global)
Metode ini berusaha menafsirkan Al-Qur’an secara singkat dan global, dengan menjelaskan makna yang dimaksud tiap kalimat dengan bahasa yang ringkas sehingga mudah dipahami. Urutan penafsiran sama dengan metode tahlili, namun memiliki perbedaan dalam hal penjelasan yang singkat dan tidak panjang lebar. Keistimewaan tafsir ini ada pada kemudahannya sehingga dapat dikonsumsi oleh tiap lapisan dan tingkatan ilmu kaum muslimin.
Metode Muqarran
Tafsir ini menggunakan metode perbandingan antara ayat dengan ayat, atau ayat dengan hadits, atau antara pendapat-pendapat para ulama tafsir, dengan menonjolkan perbedaan tertentu dari obyek yang diperbandingkan itu.
Metode Maudhui (tematik)
Metode ini adalah metode tafsir yang berusaha mencari jawaban Al-Qur’an dengan cara mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an yang mempunyai tujuan yang satu, yang bersama-sama membahas topik atau judul tertentu dan menertibkannya sesuai dengan masa turunnya selaras dengan sebab-sebab turunnya, kemudian memperhatikan ayat-ayat tersebut dengan penjelasan-penjelasan, keterangan-keterangan dan hubungan-hubungannya dengan ayat-ayat lain kemudian mengambil hukum-hukum darinya.
Dikutip dari Buletin An-Naba’ Edisi 11 Tahun ke-2

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More